Betapa ajaibnya perempuan. Diciptakan Tuhan dengan dua macam airmata untuk dua peristiwa. Saat kebahagiaan meraja, perempuan meneteskan airmata sebagai tanda suka cita. Saat kesedihan melanda, perempuan pun meneteskan airmatanya. Tanda duka cita. Dan disanalah sesungguhnya, kekuatan ajaib seorang perempuan tersimpan. Dalam airmatanya.
Seumur hidup, sudah sekitar lima kali saya melihat nenek saya- Rubijah- meneteskan airmatanya. Airmata pertama, saya lihat ketika Mbah Sastro kakung meninggal dunia. Meninggalkan nenek saya- Mbah Sastro putri- juga 6 putra-putri, banyak cucu serta beberapa cicitnya. Pada saat itu, mungkin usia saya sekitar 3 tahun. Usia dimana saya belum memahami apa arti airmatanya. Saya ingat betul, begitu banyak orang berkumpul dirumah nenek saya ini. Kebanyakan berbaju hitam. Dan hanya perasaan senang yang bisa saya rasakan kala itu. Karena semua saudara saya pulang. Teman-teman seumuran saya pun datang bermain. Rumah menjadi sangat ramai. Apalagi ibu saya membeli permen banyaakkk… sekali! Saya sungguh senang! Tapi untuk seorang Rubijah, itulah kehilangan besar.
Airmata kedua, menetes untuk saya. Saat itu, tahun ketiga saya duduk di bangku SMA. Satu tahun sebelumnya memang saya habiskan dirumah nenek. Tinggal bersamanya, makan ditempat yang sama, menemaninya pergi ke pasar, bahkan saya kerapkali tidur satu ranjang dengannya. Apalagi kalau listrik tiba-tiba padam, saya akan serta merta berlari ke ranjang dimana nenek saya sedang tertidur pulas. Saya takut gelap. Dalam imajinasi saya, hantu-hantu akan muncul saat gelap. Lalu mereka tidur telentang dibawah ranjang saya. Hhhh… mungkin saya terlalu banyak mengkonsumsi film-film Suzanna. Jadi bawaannya sereemmm… aja.
Dan tibalah hari-hari menjelang ujian nasional. Saya dijemput orang tua, pulang ke rumah. Semua dilakukan agar saya fokus belajar. Tas besar berisi buku dan pakaian pun, tlah siap dibawa pulang. Saya berpamitan pada nenek. Saya cium tangan perempuan tua itu, lalu terucaplah kalimat salam. Alangkah sedih rasanya, tak tega meninggalkannya di rumah sebesar ini. Lamat-lamat, saya lihat semburat airmata menetes di pipinya yang keriput. Saya tahu arti airmata itu, ia ingin saya tetap tinggal. Namun saya bersikeras menghiraukan. Kemudian bergegas pulang bersama orang tua saya.
Setiba dirumah, bayang-bayang nenek saya yang duduk di teras seolah menghantui. Saya sama sekali tak dapat memejamkan mata. Dan satu jam kemudian, saya telah berada di tempat yang sama. Rumah yang saya tinggalkan sebelumny, kembali pada nenek saya. Airmatanya telah membawa saya kembali.
Airmata ketiga. Mengalir saat perempuan itu mendapat kabar kematian dari adik bungsunya. Lagi-lagi airmata kehilangan. Dan selama takziah, saya duduk disampingnya. Mengusap airmata yang tak berhenti mengalir tanpa suara. Tahun itu, saya sedang duduk di bangku kuliah semester kedua.
Airmata keempat. Untuk kedua kalinya aimata itu menetes karena saya. Akhir tahun 2006, saya memutuskan merantau ke Jakarta. Sebuah tekad nekad ala fresh graduate. Yahh… di usia itu, saya punya penyakit ‘sok-sokan’. Sok ingin mengadu domba… eh, mengadu nasib di ibukota! ^,^v Sore yang sunyi. Perempuan tua itu duduk di teras. Melepas kepergian saya ke Jakarta. Dan karena saya- untuk kedua kalinya- ia menghiasi pipinya dengan airmata. Peristiwa yang sangat saya sesali satu bulan berikutnya.
Airmata kelima. Semoga menjadi airmata duka yang terakhir. Agar saya tak melihat garis pilu menyeruak di wajah tuanya. Nenek saya- Rubijah- harus merelakan putra pertamanya pergi menghadap Robb-nya di malam Idul Fitri tahun lalu. Diiringi suara takbir yang bersahutan, Soekarno- putra pertama Mbah Sastro- tutup usia. Waktu itu, saya menyaksikan dengan mata kepala saya sendiri… detik demi detik seorang anak manusia yang menemui ajal mendahului ibunya. Innalillahi wa inna ilaihi roji’uunn…
Keesokan hari, setelah sholat Ied- sama seperti tahun-tahun sebelumnya- saya dan nenek saya duduk di ruang tamu. Menanti para tamu yang berkunjung di hari raya. Ia, yang bernama Rubijah bersikukuh mengenakan pakaian serba hitam. Ia menolak memakai baju baru pemberian anak cucunya. Baju-baju itu bahkan tak disentuhnya sama sekali. Perempuan tua saya, terduduk disamping saya dengan tatapan hampa. Dengan isak yang mencekat tenggorokannya, isak yang sedapat mungkin ditahannya, ia berkata lirih: “Bojo kuwi sigaraning ati… Nanging anak, kuwi sigaraning pati…”*
Saya tahu betapa remuk perasaannya saat itu. Ibu mana yang tega melihat putranya tiada? Di hari raya pula. Hari dimana seharusnya ibu dan anak saling bertemu, dan bersama-sama merayakan kebahagiaan setelah usai Ramadhan. Namun yang terjadi, perempuan tua itu harus menyaksikan pemakaman putranya, tepat di hari raya Idul Fitri. Saya berusaha menyembunyikan airmata yang perlahan mulai menjalari pipi saya sendiri. Saya pijit-pijit pundak nenek saya, seraya saya ucap dalam hati, “Sabar, Mbok…”.
*Suami/istri itu adalah belahan hati, tetapi anak, itulah belahan nyawa.
-PWL.07Agt.09-