Kali ini Simbokku aka Mbah Sastro, bicara jodoh. Hampir setiap sore, menjelang adzan Maghrib, aku dan Simbok duduk-duduk di teras. Ada saja yang bisa dijadikan bahan obrolan.Tapi hampir sepanjang obrolan itu, aku lebih banyak diam mendengarkan.
Terkadang tawaku meledak saat perempuan tua itu menceritakan sesuatu yang kuanggap lucu. Ekspresi datarnya ketika bercerita justru menjadi bumbu kelucuan itu sendiri. Namun terkadang aku hanya diam menatap wajah tuanya- tanpa sepengetahuannya tentu- untuk mencoba mengerti apa makna dari apa yang ia katakan. Ya, kadang-kadang bahasa orang tua berbeda dengan bahasa orang muda kan. Jadi harus pelan-pelan mencerna.
Pernah di suatu sore yang cerah, kami berdua membicarakan kakakku yang berencana menikah. Terlontar satu kalimat dari bibirnya-yang hingga saat ini masih kuingat jelas- kalimat sederhana namun bagiku penuh makna.
“Golek sisihan kuwi ojo grusa-grusu…” katanya padaku.
Grusa-grusu,dalam bahasa Indonesia kurang lebih berarti ‘terburu-buru, ceroboh dan tidak sabaran’. Jadi kalimat Simbok itu kurang lebih artinya : Mencari pendamping hidup itu jangan terburu-buru.
Umm… masuk akal juga, batinku.
“Cah enom kuwi kudu gedhe prihatine, sholate sing mempèng, nek perlu poso… Opo meneh kowe ki bocah wadon, kudu luwih ngati-ati. Yen bengi nek iso tangi, tahajud, nyenyuwun marang gusti Allah. Ben dilancarke anggonmu golek sisihan urip…”
Terjemahannya : Anak muda itu harus bisa prihatin, sholat yang rajin, kalau perlu puasa. Apalagi kamu anak perempuan, harus lebih berhati-hati. Kalau malam bangunlah, tahajud, memohon pada Allah. Agar dilancarkan usahamu menemukan pendamping hidup.
Sebuah petuah berharga kembali meluncur dari mulut Simbok. Perempuan tua bernama Rubijah yang Allah takdirkan menjadi nenek saya.
“Milih sisihan urip kuwi nomer siji kudu Islam, sholate apik. Dadi ora mung waton seneng banjur rabi, Nik. Orak…” tuturnya kemudian.
Means : Memilih pendamping hidup itu yang nomor satu adalah Islam, sholatnya baik. Jadi bukan asal suka terus kawin, Nik. Bukan seperti itu.
Kudengarkan kata-katanya, kuresapi… Dan ya, perkataan perempuan itu benar adanya.
Mencari pendamping hidup memang tidak boleh ‘grusa-grusu’. Ada banyak hal yang harus dijadikan pertimbangan untuk menentukan pilihan.
Agama yang baik. Itulah yang selalu diingatkannya padaku. Pilihlah ia yang bank sholatnya. Karena hakikat pendamping hidup- suami- adalah sebagai imam. Tak hanya bagi istri ia berperan menjadi imam, namun juga bagi anak-anaknya kelak.
Rubijah, yang dulu dinikahi suaminya lewat perjodohan antar orang tua, beranggapan bahwa suami adalah seseorang yang harus ditaati. Kemauan sang suami adalah perintah bagi sang istri. Selama itu baik. Apa yang dirasakan suami, istri pun merasakan. Ketika sang suami sakit, maka tak hanya suami saja yang sakit, tapi sang istri pasti merasakannya juga.
Kembali ke bahasan menemukan jodoh, Simbok menutup sore itu dengan selarik kalimat yang membuatku menarik nafas, bukan karena lega, melainkan membuatku berpikir agak lebih lama. Ujarnya padaku:
“…wong lanang kuwi menang milih, wong wadon menang gèdhèk (nolak)…”
Lelaki itu menang karena bisa memilih, sedang perempuan menang karena boleh menolak…
-PWL.07Agt.09-