Pernah nggak dicap buruk oleh orang lain? Kayaknya hampir semua orang pernah ya dapat omongan buruk dari orang lain. Gimana kalau kita dicap anak durhaka? Mendengarnya saja membuat bulu kuduk merinding kan? Trus, bagaimana perasaan kita bila mendengar dua kata itu disematkan pada diri kita? Syok, sedih, marah, sakit hati dan perasaan tak nyaman pasti terasa jadi satu. Iya nggak? Lalu, bagaimana cara kita mengobati sakit hati dan rasa sedih mendengar omongan orang yang sesungguhnya tidak ada pada diri kita? Ini sedikit tips simpel dari saya. Berdasarkan apa yang saya alami sendiri. Semoga mendatangkan manfaat ya!
Suatu ketika, seseorang mengirim wa pada saya, intinya mengatakan bahwa saya adalah anak durhaka. Apa sebabnya? Saya sendiri tidak tahu mengapa orang itu bisa tiba-tiba mengatakan hal itu. Yang jelas, orang tersebut tidak mengetahui duduk masalah yang sebenarnya, tapi terburu-buru menghakimi. Nah, ini kayaknya sering banget terjadi di sekitar kita ya. Judgemental society.
Sakit hatikah saya mendapat wa seperti itu? Oh, tentu saja. Sedihkah? Banget. Dua hari saya hanya menangis. Menangis sampai muntah. Jengkel saya kalau sudah muntah. Mau stop nangis susah, nggak distop kok capek trus muntah. Serba salah.
Back to the topic. Anak durhaka. Bagaimana kalau kita – oleh orang lain- dicap anak durhaka atau labeling buruk yang serupa? Yang mereka bahkan tidak tahu menahu masalah sebenarnya, tapi sok ikut campur? Bagaimana menyembuhkan diri dari luka karena labeling itu? Okelah, ini kayaknya bakalan masuk ranah psikologi, yaitu self healing. Tapi tentu apa yang saya bahas ini hanya menurut pengalaman pribadi ya, jadi subyektif sekali. Nggak bisa dijadikan acuan, apalagi rujukan psikologi. Jauhlah. Tapi mudah-mudahan tulisan ini ada manfaatnya. Barangkali teman-teman ada yang sedang dapat bad labeling juga, tapi you know it doesn’t fit with you.. Ayo semangat sembuhkan diri!
Self healing adalah sebuah proses untuk menyembuhkan diri dari luka batin. Metode ini dilakukan saat seseorang menyimpan luka batin yang mengganggu emosinya. Self-healing berguna untuk menyelesaikan unfinished bussines yang berakibat pada kelelahan emosi seseorang. ( https://pijarpsikologi.org/8-metode-self-healing/ )
Lalu self healing yang saya lakukan yang seperti apa sih? Nah, ini dia poin-poinnya.
1. Marah dan menangis.
Iya, saya beneran marah. Dada rasanya sesak. Sedih dan nggondok. Semuanya jadi satu. Dan perasaan seperti ini menurut saya wajar. Ini juga bagian dari self healing itu sendiri kok. Jadi kalau sedang ada masalah, nggak apa marah, tapi tetap tahan untuk berkata buruk atau ngomel tak jelas. Nanti malah semakin ruwet masalahnya. Marah saja, lampiaskan diatas bantal atau bisa juga diatas sajadah. Menangis saja. Adukan semua pada Allah, dzat yang tidak pernah tidur.
2. Penerimaan.
Menerima semua masalah yang datang juga bagian dari self healing ala saya. Kalau kita mau menyembuhkan luka batin, ya terima saja dulu masalahnya. Dalam hal ini, ketika saya dinilai sebagai anak durhaka, saya mencoba menerima labeling itu. Butuh beberapa hari bagi saya untuk masuk pada fase penerimaan ini. Menerima apa penilaian manusia. Ya, mungkin memang beneran saya sesuai label itu di hadapan manusia. Tapi tentu saja saya tetap menyerahkan penilaian akhir itu pada Allah semata, bukan pada penilaian manusia. Nah, ini lumayan bikin ayem sih. Kalau kata teman saya, “Bomat apa kata manusia. Yang penting kita tidak sedang melanggar perintah Allah. Tidak sedang mendurhakai Allah. Udah, bomat aja!” Thanks ya untuk motivasinya, Nyah… 😍
3. Fokus pada menenangkan diri sendiri.
Nah, kalau yang ini bisa beragam caranya. Setiap orang bisa punya cara berbeda. Kalau saya, saya menenangkan diri dengan mendengarkan tausiyah ustadz. Dengerin video-video ustadz di yutub yang nenangin hati, baca-baca quote motivasi dan berinteraksi dengan teman dekat, berbagi cerita bahagia dan kadang diselingi guyonan. Trust me, it works.
4. Kembali menulis blog dan menanam.
Ini cara self healing yang ngaruh banget buat saya. Menulis dan menanam adalah 2 hal yang bikin saya lupa pada berbagai omongan orang. Menulis menyibukkan otak, sementara menanam menenangkan otak. Klop deh.
5. Banyak-banyak doa dan istighfar.
Saya memilih memperbanyak doa-doa baik untuk saya dan keluarga saya. Dan tentu memohon ampunan Allah apabila memang labeling itu benar ada pada diri saya.
6. Mencoba memaafkan si pemberi label.
Nah, ini memang agak-agak berat ya. Memaafkan orang yang sudah melukai hati- bagi seorang melankolis seperti saya- adalah bagaikan merekatkan kembali gelas yang sudah pecah. Sudah sulit, bikin snewen pula. 😂 Tapi ya, berusaha sajalah. Kan kata Ust. Khalid Basalamah, “Kalau kita disakiti orang lain, cukup sampaikan pada Allah lewat doa kita, “Ya Allah, saya maafkan orang itu. Tapi urusannya dengan-Mu, saya serahkan pada-Mu.’” Selesai.
7. Jaga jarak.
Yap, ini jaga jarak bukan karena Covid-19 ya. Tapi jaga jarak dengan toxic people. Orang-orang yang hanya memberi aura negatif pada kehidupan kita. Bye-bye ajalah.
8. Syukuri dan nikmati kebahagiaan kita sendiri.
Lupakan omongan dan labeling orang ke kita. Lalu bahagialah. Nggak usah muluk-muluk dengan pergi plesiran ke tempat-tempat jauh untuk dapat melupakan masalah dan menikmati bahagia. Cukup dengan banyak jajan dan kruntelan dengan anak dan suami, insya Allah sudah bisa bikin hepi! Inilah kelebihan orang melankolis, gampang banget dibahagiain. Ajak ke Bakmi Joyo saja sudah sumringah
😆
Oke, demikian tips self healing simpel ala saya. Semoga Allah memberikan kebahagiaan dunia dan akhirat untuk kita semua. Aamiin. Selamat berproses menyembuhkan diri ya!