Cinta Sepasang Renta

Saya sedang ingin melankolis-melankolisan nih… Maklum, yang akan dibahas adalah cinta, jadi agak mehek-mehek punya. Namun saya harap kita bisa mehek-mehek bareng sambil memetik hikmah dari catatan saya kali ini. Insya Allah… Semoga berkenan… Sugeng maos, rencang sedoyo… (Selamat membaca, temans semua…) ^,^v

Temans semua mungkin masih ingat tentang catatan saya ketika melancong ke Solo. Catatan yang saya beri judul Prameks itu tuh… Nah, catatan kali ini masi ada kaitannya dengan catatan Prameks itu. (kapan-kapan saya repost ya catatan Prameks nya. Insya Allah)
Ketika itu, saya dan tiga orang teman naik Prameks menuju Solo, setelah sempat salah naik kereta hingga ke Wates. Prameks yang kami tumpangi berjubel. Kami tidak mendapat tempat duduk. Alhasil, berdiri sambil gelayutan di gelang-gelang pegangan menjadi pilihan terakhir. Tapi kami tetap menikmati suasana itu. Betapa menyenangkan melakukan perjalanan bersama teman-teman. Karena kalau senang bisa barengan, kalau malu pun tanggung barengan juga. Poin terakhir itu yang paling penting. Kalau kena MALU, harus BARENGAN!
Namun saat kami naik Prameks kali ini, kami berempat merasakan aura senang yang berbeda. Semacam letupan-letupan kecil dari sesuatu yang kami sebut CINTA. Ada pemandangan indah yang menjadikan perjalanan kami makin menyenangkan saat itu. Di depan saya dan tiga teman saya, duduk manis sepasang manusia yang sudah renta. Sudah ‘sepuh’ kalau orang Jawa bilang. Seorang kakek-kakek dan seorang nenek-nenek. Si kakek mengenakan kemeja batik biru dan jas warna senada. Terlihat nyentrik dengan tambahan topi pet ala Putu Wijaya. Tubuh si kakek besar, dan masih kelihatan gagah. Sementara si nenek yang memakai kacamata mengenakan blus motif bunga. Kerudung merah jambu keunguan menghiasi wajah keriputnya. Dengan jas yang agak kebesaran, si nenek tampak sangat kecil di samping si kakek.
Mereka berdua juga hendak ke Solo. Hanya berdua. Saya berdiri persis di samping depan mereka, jadi saya bisa sedikit mencuri gambar kakek dan nenek itu lewat hape. Semoga mereka tidak menuntut saya. Hehehe…
Sempat saya bertanya dalam hati, ‘Apa ya tujuan kakek dan nenek ini ke Solo?’. Saya tak berani bertanya langsung. Suara bising kereta kurang mendukung untuk melakukan percakapan dengan mereka. Apalagi posisi saya berdiri, kurang sopan rasanya. Namun saya menebak-nebak, mungkin mereka hendak mengunjungi anak cucu di Solo. Atau mungkin baru saja mengunjungi kerabat di Jogja. Tapi, kenapa tidak ada seorang pun yang mengantar mereka? Anak atau siapalah yang lebih muda. Rasanya kasihan membiarkan orang tua seperti mereka naik transportasi umum, kereta pula. Atau jangan-jangan, kakek dan nenek itu sengaja melakukan perjalanan dengan kereta berdua. Hanya berdua saja!
Tahukah, temans… Terlepas dari apa tujuan mereka pergi ke Solo, saat melihat sepasang renta itu di kereta- terlintas dalam benak saya- betapa romantisnya mereka. Di usia yang tak lagi muda, saya masih bisa melihat sisi keromantisan mereka yang melebihi keromantisan orang pacaran. (Meski saya tidak tahu pasti apakah pacaran itu beneran romantis?).
Sambil bergelayutan, saya memberi kode mata pada teman-teman saya agar ikut memperhatikan ‘pemandangan’ di depan saya. Si kakek duduk di tepi, sementara si nenek duduk persis di samping jendela. Terkadang mereka lirih membicarakan sesuatu, lalu saling lempar senyum. Hingga akhirnya si kakek tertidur, mungkin kelelahan karena perjalanan. Subhanalloh… mereka mesraaa… sekali. Teman-teman saya pun ikut tersenyum. Sepertinya mereka juga merasakan apa yang saya rasakan. Pancaran kasih sayang dari dua orang yang termakan usia. Itulah cinta tulus. Indahnya akan tetap terlihat meski waktu dengan ganas mengeriputkan kulit dan perlahan mengaburkan pandangan mata.
Kalau menyaksikan peristiwa seperti itu, rasanya perut sudah kenyang terisi cinta ya, temans. Hahhh… tapi ternyata hidup bukan hanya tentang cinta ya… Bisa-bisa beras banting harga karena tak laku. Habis semua orang hanya butuh cinta untuk bertahan hidup. Hahaha…
Kembali ke cerita sepasang kakek dan nenek tadi. Diatas Prameks itu- sembari tetap asyik memperhatikan penumpang di depan saya- sebuah rancangan indah saya susun. Di masa depan ketika saya menjadi nenek-nenek, saya pun akan melakukan hal yang sama. Melakukan perjalanan khusus dengan kakek. Kakek disini tentu adalah suami saya. Kalau saya jadi nenek, otomatis suami saya jadi kakek juga kan, temans? Hikhikhik… *nyengir kuda.
Insya Allah… Semoga kelak Allah menganugerahkan pada saya dan temans semua saat-saat indah seperti itu ya… Seperti mereka… Seperti cinta sepasang renta di atas kereta. *Nah, temans… siapa yang mau seperti kakek-nenek itu? Hayuk tunjuk jempol! Hihihihi… ^,^v
*****
Daann… Lima bulan setelah saya menulis catatan ini, tepatnya di bulan JUni 2010, Allah memberikan seorang calon kakek untuk menemani hari-hari saya, hingga saat ini dan kemudian hari. Insya Allah.
Jazaakunnallahu khairan teman-teman perjalananku dulu, untuk setiap kenangan diatas Prameks yang sudah pernah kita lalui bersama. Ada Julay, Aci dan Erna. I miss that moment..

 

 

About Author

Perempuan yang lebih suka ngoceh pakai jari daripada pakai mulut.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *