Malam ini, tadarus keputrian malam Rabu dialihkan ke Mas Dar-Masjid Darussalam- karena pengisi jadual tempat yang seharusnya ‘kanggonan’ (ketempatan) belum siap. Awalnya saya mengira tadarus malam ini hanya akan dihadiri paling banyak 7 orang. Namun, alhamdulillah, sekitar 13 orang hadir dan meramaikan majelis rutin ini. Tak terkecuali Saridah. Remaja putri berusia sekitar 13 tahun-an. Sudah empat kali pertemuan berturut-turut saya tidak pernah menemukan Saridah absen. Bahkan ketika ia sedang tidak enak badan atau berhalangan ( : haid) pun ia selalu datang ke pertemuan rutin ini.
Maasya Allah… Saridah. Saya sering dibuat malu olehnya. Bukan malu karena kepintarannya, karena setahu saya Saridah tidak melanjutkan sekolah selepas SD (baru beberapa hari yang lalu saya tahu ternyata dia kelas 2 SMP sekarang), atau malu karena hal lainnya, melainkan malu karena semangatnya. Saya tidak tahu bagaimana dahulu Saridah terlahir, dan saya tidak pernah tega menanyakan tentang hal itu, bahkan pada saudaranya. Yang saya tahu saat ini, saya merasa lebih beruntung dibanding dia. Di pertemuan tadi, saya dan Saridah berada dalam satu kelompok- kami biasa membagi anggota yang hadir dalam beberapa kelompok- dan saya duduk persis di sampingnya.
Konsentrasi mengaji saya terpecah. Saridah telah menarik perhatian saya begitu lama. Setiap ia membaca ayat Qur’an yang menjadi gilirannya, serta merta mata saya akan tertuju padanya. Saya amati jarinya yang bergerak menuding Qur’annya. Bergetar. Saya tidak tahu- dalam dunia kesehatan atau apa pun itu- istilah apa yang tepat untuk menggambarkan kondisi Saridah. Tubuh Saridah sering bergerak-gerak sendiri, suaranya tercekat, ia selalu mengalami kesulitan saat bicara. Kata-katanya pun tidak jelas, lebih seperti orang yang sedang menggumam. Ketika membaca Qur’an, Saridah memerlukan waktu lebih lama dibandingkan yang lain… untuk satu ayat, bisa satu menit lebih. Itu karena kondisinya, dan kami semua memaklumi.
Dan dari Saridah yang hadir malam ini, saya kemudian tersadar, betapa jauhnya saya dibanding dia. Alangkah tidak bersyukurnya saya…
Saat orang-orang seperti Saridah- yang memiliki banyak keterbatasan- begitu bersemangat mengaji, meski dengan terbata-bata. Saya tengok diri saya sendiri- yang dikaruniai Allah tubuh yang lengkap, mulut yang mampu mengeluarkan suara tanpa kesulitan- masih sering merasa malas untuk mengaji. Astaghfirullohal ‘adzim…
Saridah, dengan segala kekurangan fisik yang ia miliki, penuh semangat mendekap Qur’an besarnya. Dengan jilbab yang tidak pernah rapi, dan warna pakaian yang slalu tampak bertabrakan, dia tersenyum. Berjalan terburu di setiap pertemuan tadarus bersama. Ya Allah… berkahilah Saridah… pelecut semangat kami.
Gadis itu, berjalan seperti diburu waktu.
Mushaf yang ia dekap begitu erat, seolah pasangan jiwa yang tlah lama hilang.
Jilbabnya berantakan, pakaiannya kusut tak karuan.
Namun ia tampak bahagia, terlihat di tiap kali ia lempar senyuman.
Saat mengaji, jemarinya bergetar tak terkendali, menunjuk ayat demi ayat Illahi…
Suaranya tertahan, tercekat di tenggorokan…
Namun bersipayah ia lanjutkan.
Ia, Saridah.
Gadis muda yang dikaruniai Tuhan satu kelebihan : semangat belajar yang tak pernah padam.
-PWL.24.Nop.09.Tues-